Apa yang sudah kita perbuat untuk bangsa ini, berikut cuplikannya,
Masyarakat berkali-kali dipertontonkan ‘sandiwara’ perjuangan dan kepahlawanan dari seorang calon legislatif. Pada waktu kampanye para calon legislatif berlomba-lomba untuk ‘bersandiwara’ menjadi orang yang paling dermawan, paling perhatian, paling bisa dipercaya, paling sadar terhadap nilai-nilai moral, dan paling siap untuk berjuang menegakkan nilai-nilai itu, paling pahlawan dalam membela kepentingan masyarakat. Namun begitu terpilih menjadi wakil masyarakat/ wakil rakyat kebanyakan lupa dengan nilai-nilai yang ingin diperjuangkan. Dan tidak jarang nilai-nilai perjuangan moral itu berubah menjadi nilai-nilai materi saja. Atau bahkan ada yang bertujuan materi namun dibungkus dengan nilai-nilai moral kebangsaan. Masyarakatpun menjadi praktis, menggeser nilai-nilai moral kejuangan menjadi nilai-nilai materi “keuangan”, pertemanan dan kekeluargaan.
Masa sebelum reformasi, pemilu dibuat sandiwara oleh penguasa, nilai-nilai perjuangan dibelokkan sebagai legitimasi kekuasaan, kini setelah reformasi pemilu dibuat sandiwara oleh rakyat; nilai-nilai perjuangan moral kebangsaan dibelokkan menjadi nilai-nilai materi ‘keuangan’, pertemanan atau kekeluargaan.
Ada Apa dengan nilai kebangsaan?
Schwartz (1994) mendefinisikan nilai sebagai berikut : Value as desireable transituational goal, varying in importance, that serve as guiding principles in the life of person or other social entity.
Nilai adalah suatu tujuan akhir yang di inginkan, mempengaruhi tingkah laku, yang digunakan sebagai prinsip atau panduan dalam hidup seseorang atau masyarakat. Bisa dikatakan bahwa Nilai-nilai pada hakikatnya merupakan sejumlah prinsip yang dianggap berharga dan bernilai sehingga layak diperjuangkan dengan penuh pengorbanan. Jika seseorang hanya memperjuangkan nilai-nilai pribadi sering disebut indivudualis, namun jika seseorang memperjuangkan nilai-nilai sosial sering disebut pejuang atau pahlawan (orang yang banyak pahalanya).
Nilai-nilai merupakan representasi dari kognitif dari persyaratan hidup manusia dan dapat bergeser karenanya. Tiga tipe persyaratan itu yaitu :
1. Kebutuhan individu sebagai organisme
2. Persyaratan interaksi sosial yang membutuhkan koordinasi interpersonal
3. Tuntutan institusi sosial untuk mencapai kesejahteraan kelompok dan kelangsungan hidup kelompok. (Schwartz 1992,1994)
Nilai-nilai Perjuangan Bangsa Indonesia
Dengan melihat definisi nilai tersebut, maka dalam konteks ke Indonesiaan, kita bisa menyebutkan bahwa nilai-nilai perjuangan dan kepahlawanan yang dapat mempersatukan bangsa ini terbagi menjadi dua yaitu :
1. Sebelum kemerdekaan nilai-nilai itu terangkum dalam istilah MERDEKA. Merdeka ini dianggap amat bernilai tinggi dan menjadikan wilayah jajahan Hindia Belanda bersatu padu. Menghilangkan sisi-sisi perbedaan dan mengedepankan toleransi. Kata-kata merdeka begitu di rindukan oleh semua pihak, mulai dari gerakan Budi Utomo, Serikan Islam, Sumpah Pemuda dan perjuangan-perjuangan lokal yang lain.
2. Setelah merdeka di carilah semua kepentingan suku-bangsa ini melalui wakil-wakilnya dan semua sepakat untuk menjunjung tinggi kesamaan nilai-nilai yang terangkum dalam istilah PANCASILA (lima sila/point). Suatu nilai dasar yang telah digali ini, diambil dari semua golongan yang ada dan kemudian ditetapkan sebagai dasar kesepahaman untuk bergabung dan menyatukan diri dalam suatu negara yaitu negara Indonesia. Lima Sila perjuangan yaitu :
1. Ke Tuhaan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dari nilai-nilai kejuangan yang didasari rasa cinta ini muncul semangat juang dan semangat kepahlawanan: yaitu
1. rela berkorban,
2. teguh
3. ulet,
4. percaya diri.
Pertanyaannya sekarang adalah
1. masihkan ke lima nilai tersebut menjadi nilai-nilai yang diperjuangkan oleh segenap bangsa Indonesia?
2. Bagaimanakah kondisi bangsa ini?
3. Jika sudah terjadi pergeseran : nilai yang manakah yang telah bergeser?.
Lunturnya Semangat Juang Karena Bergesernya Pemahaman Nilai-nilai Perjuangan
Pasca reformasi usaha pemahaman Ideologi bangsa menjadi pudar sebagai arus balik dari pemaksaan pemahaman ideologi bangsa yang dipaksakan pada masa orde baru. Bahkan kini orang membaca dan berbicara Pancasila seakan malu-malu dan tanpa makna, tidak lebih hanya seremoni belaka.
Hubungan dengan nilai-nilai /penafsiran lama (P4) putus, tetapi belum tumbuh nilai penafsiran baru, sehingga muncul priode yang disebut oleh khoiri sebagai vakum keyakinan. Semangat juang tidak lagi berkobar, yang dominan adalah semangat mengedepankan kepentingan pribadi atau golongan.
Khususnya sila ke lima : keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; serasa sekarang ini jauh dari kenyataan. Yang kaya amatlah kaya dan yang miskin tidak punya apa-apa. Masyarakat menjadi semakin bingung dengan penyelenggaraan negara yang korup dan mempertinggi jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin.
Kondisi seperti ini menjadikan tidak adalagi fokus perjuangan yang jelas yang di perparah dengan adanya Globalisasi dan Otonomi yang kehilangan orientasi.
1. Globalisasi
Saat pamor idiologi bangsa merosot inilah, kita juga gagap menghadapi pusaran kuat globalisasi ekonomi pasar sebagai bagian dari arus kapitalisasi yang menjunjung tinggi kekuatan materi. Dalam kondisi semacam ini masyarakat menjadi bingung nilai-nilai apa yang akan dijunjung tinggi
Kita merasakan krisis multidimensional melanda kita, di bidang politik, ekonomi, hukum, nilai kesatuan dan keakraban bangsa menjadi longgar, nilai-nilai agama, budaya dan ideologi terasa kurang diperhatikan, terasa pula pembangunan material dan spiritual bangsa tersendat, discontinue, unlinier dan unpredictable.
Dalam keadaan seperti sekarang ini sering tampak perilaku masyarakat menjadi lebih korup bagi yang punya kesempatan, bagi rakyat awam dan rapuh tampak beringas dan mendemostrasikan sikap antisosial, antikemapanan, dan kontraproduktif serta goyah dalam keseimbangan rasio dan emosinya.
2. Otonomi yang kehilangan orientasi
Otonomi daerah yang berorientasi mensejahterakan rakyat, dengan memberikan kelonggaran masing-masing daerah mengelola sumber dayanya sendiri ternyata justru banyak memunculkan nasionalisme etnis. Sentimen kedaerahan menonjol. bagi daerah yang mampu, kemampuan daerah dugunakan untuk mensejahterakan wilayahnya sendiri, namun bagi wilayah yang kurang mampu, kekurangannya tersebut digunakan untuk meminta bantuan dan belas kasihan pihak-pihak lain. Masing-masing sibuk mengurus diri sendiri tanpa mempertimbangkan kepentingan nasional. Mimpi Negara modern yang bertumpu pada civic- nationalism direduksi kedalam spirit ethno nationalism. Solidaritas kebangsaan menurun, digeser oleh solidaritas primordial atas nama SARA.) Jika terjadi musibah di suatu daerah, daerah lain tidak meresa terpanggil membantu, namun justru mengandalkan bantuan pusat dan lembaga-lembaga bantuan dunia.
Usaha Menanamkan Nilai-Nilai Perjuangan Kepahlawanan dalam rangka Peningkatan Persatuan dan Kesatuan Bangsa
1. Penyadaran, pengenalan dan penafsiran kembali Ideologi terbuka Pancasila sebagai nilai-nilai yang harus diperjuangkan; dan Landasan Konstitusional UUD.45 sebagai garis perjuangan, pada seluruh lapisan masyarakat. Terutama pasal 5 keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bisa tajamkan kembali dan dijadikan fokus dalam perjuangan pasca reformasi. Apakah dengan cara pemberian jaminan hidup layak bagi semua rakyat meliputi hak-hak dasar papan, sandang, pangan dan keamanan ditambah jaminan pendidikan dan kesehatan. Inilah tujuan civic nationalism ataupun welfare society. Dimana
2. Desentralisasi / Otonomi daerah yang harus dikendalikan oleh nilai-nilai kebangsaan. Otonomi daerah harus di dasari oleh pemikiran bersama untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Di dalamnya terkandung terjaminnya kesejahteraan bersama. Dalam konsep otonomi ini tidak mustakhil daerah yang makmur membantu daerah yang tergolong miskin atas dasar nilai-nilai keadilan sosial. Ada payung hukum yang mewajibkan daerah yang sudah makmur untuk membantu saudaranya di daerah yang masih miskin.
3. Desentralisasi pendidikan yang dilandasi dengan kesadaran mencapai tujuan nasional. Pendidikan dikelola dan di isi dengan dasar pemberian keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tidak ada pembedaan antara sekolah bagi masyarakat mampu dan sekolah bagi masyarakat miskin, yang boleh membedakan hanyalah minat dan kemampuan siswa.
4. Konstitusi yang mengabdi pada kepentingan bangsa.
Harus ditanamkan kesadaran bagi pembuat konstitusi agar mendasarkan diri pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Konstitusi jangan dijadikan sebagai tameng untuk memperkaya pribadi atau golongan. Jangan pula sebagai tameng melanggengkan kekuasaan.
5. Politik yang dilandasi kepatuhan terhadap konstitusi.
Para pelaku politik harus diberi kesadaran keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sehingga dalam menjalankan politik tidak berlindung dibalik konstitusi dan tidak memutar balikkan konstitusi apalagi dengan sengaja melanggar konstitusi.
Dengan demikian dapat disebut bahwa para pejuang saat ini adalah mereka yang bersungguh-sungguh, rela berkorban, teguh pendirian ulet dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan mereka bisa perprofesi sebagai pengusaha, pelajar,pejabat, guru, dosen dan apapun profesinya. Mereka yang dapat mengharumkan nama bangsa, mengangkat harkat dan martabat bangsa dimata dunia, dan yang membela kesejahteraan rakyat dengan di jiwai semangat kejuangan.
Inilah pahlawan bangsa pada era sekarang ini. SEJAHTERA !!! SEJAHTERA!!! SEJAHTERA!!!.
Oleh Sofa Muthohar, M.Ag
dikutip dari :http://www.averroes.or.id
Baca Terus...